Khawarij dan Murji'ah


A. Ringkasan Jurnal, “Jurnal TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011”, Achmad Zaeny, “IDIOLOGI DAN POLITIK KEKUASAAN KAUM MU’TAZILAH”
Sejarah pada umumnya mengungkapkan bahwa aliran- aliran teologi dalam Islam muncul akibat persoalan politik yang berakar dari masalah kekhalifahan sesudah wafatnya nabi Muhammad Saw. Terutama pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dimana keadaan politik terlanjur memanas, dan yang terbesar adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan kibat dari arbitrase yang bermuara dari persoalan politik, maka muncullah persoalan teologi, yaitu tentang iman dan kufur bagi pelaku dosa besar yang dipelopori oleh kaum Khawarij. Pernyataan Khawarij ini memunculkan aliran baru, yaitu aliran Murji’ah, yang berpendapat bertolak belakang dengan aliran Khawarij. Reaksi dari dua aliran yang bertentangan ini memicu timbulnya aliran baru lagi yaitu Mu’tazilah. Menurut aliran ini pelaku dosa besar itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tempatnya diantara keduanya (al manzilah bainal manzilatain). Mu’tazilah muncul pada dinasti Umayyah di Basrah yang kemudian berlanjut ke dinasti Abbasiyah yang mulai bercampur dengan filsafat Yunani.
Mu’tazilah pada dinasti Umayyah 
Pada fase Umayyah, Mu’tazilah muncul di Basrah (Irak) pada awal abad 8 M / 2 H. yang dipelopori oleh Washil bin Atha’ dimana ia ketika mengikuti pengajian dari gurunya Hasan al Basri, ada seorang jama’ah yang menanyakan tentang pelaku dosa besar. Pada saat itu Hasan al Basri sedang berfikir, tiba-tiba Washil bin Atha’ menyelanya:
“Aku tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu adalah mukmin secara mutlak, dan tidak pula kafir secara mutlak. Dia akan ditempatkan di suatu tempat yang terletak diantara dua tempat. Ia tidak mukmin dan tidak pula kafir tetapi fasik”. Kata mukmin dalam pendapat Washil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada kafir dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena disebalik dosa besarnya ia masih mengucap syahadat dan dan masih mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang serupa ini kalau meninggal dunia tanpa taubat, akan kekal dalam neraka; hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir
Dengan demikian Mu’tazilah pada fase pertama ini (fase Basrah) masih bersifat sederhana yakni berkisar tentang pelaku dosa besar, akan tetapi pada masa ini pula muncullah lima ajaran pokok Mu’tazilah, yaitu: tauhid,  keadilan Allah, ancaman atas perbuatan jahat, satu tingkat kedudukan antara kafir dan mukmin dan amar ma’ruf nahi munkar.
“Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, kaum Mu’tazilah dapat hidup tenteram karena tidak menunjukkan sikap ekstrim terhadap pemerintahan yang berkuasa sehingga aliran ini tetap eksis dan berkembang”.
Pada dasarnya pada masa dinasti Umayyah ini filsafat Yunani muncul, yaitu ketika Alexander Yang Agung mengalahkan Darius tahun 331 SI di Arbela (sebelah timur tigris). Filsafat pada dinasti Umayyah semakin menampakkan diri ketika khalifah ke V- nya (Abdul Malik Ibn Marwan) menjadikan Alexandria, Antioch dan Bactra menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat Islam pada masa itu.
Mu’tazilah Pada Dinasti Abbasyiah
Pada fase kedua, yaitu dinasti Abbasyiah yang berkuasa selama 524 tahun yaitu dari tahun 132 H sampai tahun 656 H. ini adalah dinasti yang paling panjang umurnya. Pada awal pemerintahannya dinasti Abbasyiah ini dipimpin oleh Abu Abbas As Syaffah (132 – 136 H). Pada priode ini aliran Mu’tazilah mulai lebih berkembang dan menonjolkan diri. hal ini dikarenakan aliran Mu’tazilah ini menjadi juru kunci pemerintahan ketika mulai terjadinya penyerangan-penyerangan oleh orang-orang non Islam terhadap Islam. Lambat laun aliran ini lebih banyak menggunakan filsafat dalam pemikiran-pemikirannya, sehingga mereka akrab disebut sebagi kaum rasionalis Islam, yaitu aliran yang menggunakan akal pikiran (filsafat).
Kemajuan Mu’tazilah semakin berkembang pesat pada masa Al Ma’mun (198 – 219). Aliran Mu’tazilah pada priode ini disebut aliran Baghdad; hal ini dikarenakan washil bin Atha’ pernah mengutus muridnya yang bernama Bisyir al Mu’tamar untuk menjadi pemimpin Mu’tazilah di Bashrah. Selain hal tersebut, Al Ma’mun memindahkan ibu kota dari Al Hasyimiah yang didirikan di dekat kota Kuffah ke Baghdad, sehingga dengan demikian secara otomatis kota Baghdad menjadi jantung kota dan pusat segala kegiatan masyarakatnya. Terutama sebagai pusat peradaban baik dalam bidang seni, politik, agama dan ilmu pengetahuan.


Mihnah dari masa ke masa
Kata Mihnah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya mencobai, menguji. Mihnah dalam konteks aliran Mu’tazilah adalah pengujian keyakinan terhadap para ahli fiqh dan ahli Hadits tentang mihnah pada tahun 218 H, yang dilatar belakangi dengan pendapat Mu’tazilah bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk atau ciptaan. Sebelum meninggal dunia al Ma’mun menulis surat wasiat kepada penggantinya yaitu Abu Ishak Muhammad al Mu’tashim, agar tetap terus melaksanakan mihnah. Dalam pelaksanaan wasiat ini al Mu’tashim melakukan mihnah dengan lebih kejam kepada para ulama. Bahkan sebagian ada yang dibunuh. Ahmad Ibnu Hambal dicambuk dan dipenjarakan karena faham khalq Al Qur’an dan ia menerimanya dengan tabah.
Pada tahun 227 H al Mu’tashim meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Ja’far Harun al Watsiq. Khalifah selanjutnya adalah Abu Ja’far Al Mutawakkil (232-247 H). Al Mutawakkil sendiri bukanlah penganut Mu’tazilah, sehingga pada masanya, mihnah hanya berlangsung 2 tahun saja. Kemudian ia menurunkan aliran ini dari mazhab resmi Negara, rasionalisme dilarang. Dia membebaskan Ahmad Ibnu Hambal. Kemudian dia mulai m,engendalikan dan selanjutnya menindas para cendekiawan Mu’tazilah. Tindakan Al Mutawakkil ini sangat merugikan aliran Mu’tazilah. Dan keadaan menjadi terbalik dimana para cendekiawan aliran ini ditindas, yang mana dahulu merekalah yang menindas para pembangkang yang tak sepaham dengan mereka.
Mu’tazilah Pasca Mihnah
Aliran Mu’tazilah setelah jatuh pada masa khalifah al Mutawakkil, maka ia mulai naik pamornya kembali pada dinasti Buwaih di Baghdad (945-1055 M). pada masa ini orang-orang Mu’tazilah mulai menduduki kembali posisi-posisi penting dalam Negara; seperti Abu Muhammad Ibnu Ma’ruf sebagai hakim kepala di Baghdad, dan Al Jabbar Ahmad Ibnu Al Jabbar sebagai hakim kepala di daerah Ray, serta diperbolehkannya dilaksanakan majlis-majlis besar untuk pengajaran ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dinasti Buwaih adalah dinasti yang beraliran Syi’ah dalam teologinya. Pada tahun 447 H/ 1055 M, Tughril dari dinasti Saljuk memasuki Baghdad dan mulai dari situlah dinasti Buwaih runtuh, dan berdirilah dinasti Saljuk. Pada masa itu aliran Mu’tazilah tetap eksis seperti pada masa dinasti Buwaih. Bahkan ada seorang perdana menteri yang beraliran Mu’tazilah.
B. Peta Konsep Jurnal “Jurnal TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011”, Achmad Zaeny, “IDIOLOGI DAN POLITIK KEKUASAAN KAUM MU’TAZILAH”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP Bahasa Indonesia MI/SD

MAKALAH PENGEMBANGAN PKn MI/SD

Pemetaan KD ke Indikator dalam Pembelajaran Tematik