TAFSIR MUQARIN

A. Latar Belakang
Pada masa dewasa ini, perlu kita ketahui terlebih dahulu mengenai definisi metode penafsiran al-Qur’an yakni seperangkat kaedah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam perkembangannya, Abdul Al-Hayy Al-Farmawi mengemukakan bahwa metode tafsir secara garis besar dibagi menjadi (4) empat metode yaitu : Metode Tahlili, Metode Ijmali, Metode Muqarin dan Metode Maudhu’i. Disini, setelah kita dapat memahami mengenai metode tahlili dan ijmali pada pembahasan makalah sebelumnya penulis akan mengungkapkan pembahasan dan uraian secara ringkas mengenai metode selanjutnya yakni metode muqarin (perbandingan). Dimana perlu kita ketahui bahwa metode muqarin  adalah membandingkan teks al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, membandingkan ayat dengan hadits yang lahirnya terlihat bertentangan, membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun, didalam metode muqarin juga terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan, untuk lebih jelasnya akan penulis bahas di dalam makalah yang berjudul “KarakteristikTafsirMuqarin”.
B. MetodeMuqarin (Komparatif)
Metode Muqarin berasal dari kata qarana-yuqarinu-qornan yang artinya membandingkan, kalau dalam bentuk masdar artinya perbandingan. Sedangkan menurut istilah, metode muqarin  adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Metode ini mencoba untuk membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an antara yang satu dengan yang lain atau membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits Nabi serta membandingkan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif ialah: 
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 
b. Membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur'an.
Metode muqarin (metode komparatif) para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode muqarin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasruddin Baidan, yang dimaksud dengan metode komparatif adalah :
1. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama. Seperti contoh dalam surat al-Hadid ayat 20 dan Surat al-An’amayat 23:
اعْلَمُوا أنَّماَ الْحَياَةُ الدُّ نْياَ لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau”
اعْلَمُوا أنَّماَ الْحَياَةُ الدُّ نْياَ لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya hidup didunia itu hanya permainan dan senda gurau”
Pada potongan dua ayat di atas, kata لَعِبٌ didahulukan daripada لَهْوٌ, tetapi pada surat al-A’raf ayat 51 dan al-Ankabut ayat 64, kata لَهْوٌ didahulukan daripada لَعِبٌ. Surat-surat itu berbunyi:
اَلَّذِيْنَ اتَّخَذُوا دِيْنَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّ نْيَا
“Yaitu orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai senda gurau dan permainan, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia”
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّ نْيَا إلَّا لَهْوٌ وَ لَعِبٌ
“Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan”
Menurut pengarang kitab al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, yang menjadi dasar didahulukan dan diakhirkan, karena disamakan dengan waktu pagi atau pada masa kanak-kanak, sedangkan kata lahwa disamakan dengan masa pemuda.
Sebagai contoh lain , seperti di dalam firman Allah:
وَمَاجَعَلَهُ اللهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُو بُكُم بِهِقلى وَمَا النَّصْرُ إِلَّامِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Allah tidak menjadikannya (pemberitaan tentang bala bantuan malaikat) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar menjadi tenteram hati kamu disebabkan olehnya. Kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ” (QS. Ali Imran [3]: 126)
Ayat di atas sedikit berbeda dengan ayat 10 dari surah al-Anfal. Di sana dinyatakan:
وَمَا جَعَلَهُ الّلهُ إِلَّا بُشْرَىوَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمج وَمَا النَّصْرُ إِلَّامِنْ عِنْدِ الّلهِج إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Allah tidak menjadikannya (pemberitaan tentang bala bantuan malaikat) melainkan sebagai kabar gembira dan agar menjadi tenteram˗disebabkan olehnya-hati kamu. Kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana”
Dalam ayat Ali Imran di atas, kata bihi terletak sesudah quluubukum, berbeda dengan ayat al-Anfal yang letaknya sebelum quluubukum. Dalam al-Anfal fashilat (penutup ayat) dibarengi dengan Harf Taukid (Inna/Sesungguhnya), sedang dalam Ali Imran huruf tersebut tidak ditemukan. Mengapa demikian? Sedang kedua ayat tersebut berbicara tentang turunnya malaikat untuk mendukung kaum muslimin.Dalam tafsir al-Mishbah, ketika membahas ayat Ali Imran di atas, penulis antara lain menyatakan bahwa ayat al-Anfal berbicara tentang peperangan Badar, sedang ayat Ali Imran berbicara tentang peperangan Uhud. Perbedaan redaksi memberi syarat tentang perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran Mukhathab (mitra bicara) kaum Muslim. Yang jelas dalam metode Muqarin, setiap perbedaan pasti akibat adanya perbedaan objek, subjek, waktu, atau kondisi Mukhathab, dan lain sebagainya. 
2. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya tampak bertentangan. Dengan ini perlu ditegaskan bahwa masalah ini bukan dimaksudkan sebagai tafsir bi al-ma’tsur, dan bukan pula antara qath’i dan dzanni. Tetapi hanya pengertian yang kelihatan berbeda, sebab pengertiannya sama-sama dzanni. Misalnya dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa wahyu penciptaan langit dan bumi adalah enam hari sebagai mana dalam surat Hud ayat 7:
وَهُوَ الَّذِ ي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa”
Sedangkan didalam hadits disebutkan bahwa bumi diciptakan dalam kurun waktu tujuh hari, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memegang tanganku dan bersabda, “Allah telah menciptakan tanah pada hari sabtu, menciptakan di bumi gunung-gunung pada hari ahad, menciptakan pepohonan pada hari senin, menciptakan yang tidak disukai pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu, menyebarkan binatang melata pada hari kamis, menciptakan Adam pada hari Jum’at setelah ashar yang merupakan akhir penciptaan di akhir waktu dari waktu-waktu hari jum’at yaitu antara ashar hingga malam”. Al-syaikh al-Bani memaparkan bahwa hadits itu tidaklah bertentangan dengan Al-Qur’an dari sisi manapun, berbeda dengan anggapan sebagian orang. Sesungguhnya hadits itu menjelaskan tentang penciptaan bumi saja dan berlangsung dalam tujuh hari. Sedangkan nash Al-Qur’an menyebutkan bahwa penciptaan langit dan bumi dalam dua hari yang tidak bertentangan dengan hadits diatas karena adanya kemungkinan bahwa enam hari itu berbeda dengan tujuh hari yang disebutkan dalam hadits.
Sebagai contoh lain , QS. An-Najm [53]: 39, Allah berfirman:
وَاَن لَّيْسَ لِلْإِنسنِ إِلَّا مَاسَعى
“Manusia tidak memperoleh balasan/manfaat kecuali apa yang diusahakannya”
Ayat ini sepintas terlihat bertentangan dengan hadits yang menegaskan bahwa:
“Bila putra-putri Adam meninggal dunia, maka terputuslah amal kebaikannya kecuali tiga hal. Shadaqah Jariyah, ilmu yang diajarkannya dan dimanfaatkan orang lain, serta anak yang saleh mendoakannya”
Atau seperti firman-Nya melukiskan rayuan setan yang akan menyerang dari empat penjuru (baca QS. Al-A’raf [7]: 17) dengan permohonan yang sering Nabi panjatkan dengan menyebut enam arah:
اللهم احفظني من بين يدي ومن خلفي وعن يميني وعن شمالي ومن فوقي وأعوذ بك أن أغتال من تحتي..
“Ya Allah, peliharalah aku dari hadapanku, belakangku, arah kanan dan kiriku, arah atas dan aku memohon juga perlindungan-Mu dari bencana yang datang dari bawah”
Sementara ulama menyatakan bahwa al-A’raf itu sebenarnya mencakup juga keempat arah, sebagaimana bunyi do’a Rasul Shallallahu’alaihi wa Sallam, hanya ayat itu mengisyaratkan bahwa kedua arah yang tidak disebut adalah arah yang dapat menjadi tempat aman bagi yang berlindung di sana, yakni siapa yang mengarah ke “atas” memohon perlindungan-Nya, atau siapa yang sujud merendahkan diri kepada Allah, maka dia akan memperoleh perlindungan dan terbebaskan dari rayuan setan.
3. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dengan menafsirkan Al-Qur’an. Pendapat-pendapat para ulama dihimpun dalam satu pendapat, tetapi dimaksudkan untuk menelitinya, mana pendapat yang lemah dan mana pendapat yang kuat, mana penadapat yang luas dan yang sempit, dan mana pendapat yang diterima oleh kalangan mufassir dan siapa yang mengeluarkan pendapat tersebut.Sebagaicontoh ; Dalammenafsirkan surah al-Kafirun, para ulama tafsir secara umum terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama tidak mau membicarakan perbedaan redaksi yang terdapat di dalamnya tapi langsung menafsirkannya. Seperti yang dilakukan oleh al-Thohari, al-Suyuthi, dan al-Maraghi. Kelompok kedua membicarakan perbedaan tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibn Qutaybah, al-Iskafi, al-Karmani, Ibn Katsir, dan lainnya.
Ciri-ciri metode komparatif adalah membandingkan ayat sesuai dengan konotasi komparatif, namun kebanyakan yang membandingkan adalah aspek terakhir yaitu pendapat para mufassir baik dari mufassir salaf atau mufassir dari kalangan mutaakhirin, disini terlihat bukan perbandingan metode dari mufassir saja, namun kecenderungan para mufassirpun ikut diperbandingkan. Metode Muqarin memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, antara lain:
Kelebihan metode ini adalah:
a. Memberikan wawasan peristiwa yang relatif lebih luas kepada para pembaca, disini setiap ayat bisa ditinjau dari berbagai aspek dan berbagai argumen pendapat.
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang jauh berbeda.
c. Sangat berguna bagi kalangan yang ingin mengetahui dari berbagai pendapat tentang suatu ayat.
d. Penafsir lebih hati-hati dalam mengambil kesimpulan karena mufassir harus mengetahui    banyak argumen.
Diantara kekurangan metode ini adalah: 
a. Metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula, karena pembahasannya terlalu luas.
b. Metode komparatif kurang bisa diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial, karena metode ini lebih menggunakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.
c. Terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah ada, dari pada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya hal ini bisa saja tidak terjadi apabila mufasir bisa mengaitkannya dengan kondisi yang dihadapinya.
Dari definisi kelebihan dan kekurangan diatas, terlihat metode muqarin (komparatif) memiliki cakupan yang sangat luas apabila dibandingkan dengan metode tafsir yang lain. Metode ini dapat mengembangkan pemikiran tafsir yang rasional dan objektif sehingga mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif yang berhubungan dengan latar belakang dan dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam penafsiran. Adapun kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Rawa’i al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.
C. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa:
1. Metode Muqarin adalah membandingkan teks Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, membandingkan ayat dengan hadits yang lahirnya terlihat bertentangan, membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan metode muqarin adalah:
a. Kelebihan metode ini adalah pertama, memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bisa dibandingkan metode-metode yang lain. Di mana semua pendapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang benar. Kedua, membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada yang kontradiktif. Dengan demikian, dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu. Ketiga, metode ini sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin mendalami dan memperluas penafsiran Al-Qur'an. Keempat, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Dengan demikian, pola ini akan membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat, sehingga penafsiran yang diberikannya relatif lebih terjamin kebenarannya dan lebih dapat dipercaya.
b. Kekurangan metode ini adalah pertama, metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim. Kedua, metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah. Ketiga, metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.




DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. KAIDAH tafsir. (Tangerang: Lentera Hati). 2013.
Baidan, Dr. Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Glaguh UH IV/343). 1998.

Sumber Internet:
“Makalah Studi Al-Qur’an”,  Http://Makalah-studi-al-qur’an.pdf, Diakses pada tanggal 8 Mei 2017.
“BAB II”, Http://jtptiain-gdl-s1-2004-nn2198059-323-BAB_II_2-9.pdf, Diakses pada tanggal 2 Mei 2017.
“BAB 2”, Http://digilib.uinsby.ac.id/1192/4/Bab%202.pdf, Diakses pada tanggal 1 Mei 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP Bahasa Indonesia MI/SD

MAKALAH PENGEMBANGAN PKn MI/SD

Pemetaan KD ke Indikator dalam Pembelajaran Tematik